Selasa, 25 Februari 2014

Asal Usul Danau Maninjau


Kategori: Cerita Rakyat
Elemen Budaya: Cerita Rakyat
Provinsi: Sumatera Barat
Asal Daerah: Sumatera barat
Danau Maninjau adalah sebuah danau vulkanik yang terletak di Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatra Barat, Indonesia. Danau dengan luas sekitar 99,5 km2 dengan kedalaman mencapai 495 meter ini merupakan danau terluas kesebelas di Indonesia, dan terluas kedua di Sumatra Barat. Menurut cerita, Danau Maninjau pada awalnya merupakan gunung berapi yang di puncaknya terdapat sebuah kawah yang luas. Oleh karena ulah manusia, gunung berapi itu meletus dan membentuk sebuah danau yang luas. Apa gerangan yang menyebabkan gunung berapi itu meletus dan berubah menjadi danau? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Asal Usul Danau Maninjau berikut ini!
Alkisah, di sebuah daerah di Sumatra Barat ada sebuah gunung berapi yang amat tinggi bernama Gunung Tinjau. Di puncaknya terdapat sebuah kawah yang luas, dan di kakinya terdapat beberapa perkampungan. Penduduknya hidup makmur dan sejahtera, karena mereka sangat rajin bertani. Di samping itu, tanah yang ada di sekitar Gunung Tinjau amat subur, karena sering mendapat pupuk alami berupa abu gunung.

Di salah satu perkampungan di kaki Gunung Tinjau itu tinggal sepuluh orang bersaudara yang terdiri dari sembilan lelaki dan seorang perempuan. Penduduk sekitar biasa memanggil mereka Bujang Sembilan. Kesepuluh orang bersaudara tersebut adalah Kukuban, Kudun, Bayua, Malintang, Galapuang, Balok, Batang, Bayang, dan lelaki termuda bernama Kaciak. Sementara adik mereka yang paling bungsu adalah seorang perempuan bernama Siti Rasani, akrab dipanggil Sani. Kedua orangtua mereka sudah lama meninggal, sehingga Kukuban sebagai anak sulung menjadi kepala rumah tangga. Semua keputusan ada di tangannya.

Kesepuluh bersaudara tersebut tinggal di sebuah rumah peninggalan kedua orangtua mereka. Untuk memenuhi kebutuhannya, mereka menggarap lahan pertanian yang cukup luas warisan kedua orangtua mereka. Mereka sangat terampil bertani, karena mereka rajin membantu ayah dan ibunya ketika keduanya masih hidup. Di samping itu, mereka juga dibimbing oleh paman mereka yang bernama Datuk Limbatang, yang akrab mereka panggil Engku.

Datuk Limbatang adalah seorang mamak di kampung itu dan mempunyai seorang putra yang bernama Giran. Sebagai mamak, Datuk Limbatang memiliki tanggungjawab besar untuk mendidik dan memerhatikan kehidupan warganya, termasuk kesepuluh orang kemenakannya tersebut. Untuk itu, setiap dua hari sekali, ia berkunjung ke rumah Kukuban bersaudara untuk mengajari mereka keterampilan bertani dan berbagai tata cara adat daerah itu. Tak jarang pula Datuk Limbatang mengajak istri dan putranya ikut serta bersamanya.

Pada suatu hari, ketika Datuk Limbatang bersama istri dan Giran berkunjung ke rumah Bujang Sembilan, secara tidak sengaja Sani saling berpandangan dengan Giran. Rupanya, kedua pemuda dan gadis itu sama-sama menaruh hati. Giran pun mengajak Sani untuk bertemu di sebuah ladang di pinggir sungai. Dengan hati berdebar, Giran pun mengungkapkan perasaannya kepada Sani.

"Sudah lama merendam selasih
Barulah kini mau mengembang
Sudah lama kupendam kasih
Barulah kini bertemu pandang"

"Telah lama orang menekat
Membuat baju kebaya lebar
Sudah lama abang terpikat
Hendak bertemu dada berdebar"

"Rupa elok perangaipun cantik
Hidupnya suka berbuat baik
Orang memuji hilir dan mudik
Siapa melihat hati tertarik"

"Dik, Sani! Wajahmu cantik nan elok, perangai baik nan berhati lembut. Maukah engkau menjadi kekasih Abang?" tanya Giran.

Pertanyaan itu membuat jantung Sani berdetak kencang. Dalam hatinya, ia juga suka kepada Giran. Maka ia pun membalasnya dengan untaian pantun.

"Buah nangka dari seberang
Sedap sekali dibuat sayur
Sudah lama ku nanti abang
Barulah kini dapat menegur"

"Jika roboh kota Melaka
Papan di Jawa saya tegakkan
Jika sungguh Kanda berkata
Badan dan nyawa saya serahkan"

Alangkah senang hati Giran mendengar jawaban dari Sani. Ia benar-benar merasa bahagia karena cintahnya bersambut.

Maka sejak itu, Giran dan Sani menjalin hubungan kasih. Pada mulanya, keduanya berniat untuk menyembunyikan hubungan mereka. Namun karena khawatir akan menimbulkan fitnah, akhirnya keduanya pun berterus terang kepada keluarga mereka masing-masing. Mengetahui hal itu, keluarga Giran dan Sani pun merasa senang dan bahagia, karenahal tersebut dapat mempererat hubungan kekeluargaan mereka. Sejak menjalin hubungan dengan Sani, Giran seringkali berkunjung ke rumah Bujang Sembilan. Bahkan, ia sering membantu Bujang Sembilan bekerja di sawah.

Ketika musim panen tiba, semua penduduk kampung memperoleh hasil yang melimpah. Untuk merayakan keberhasilan tersebut, para pemuka adat dan seluruh penduduk bersepakat untuk mengadakan gelanggang perhelatan, yaitu adu ketangkasan bermain silat. Para pemuda kampung menyambut gembira acara tersebut. Dengan semangat berapi-api, mereka segera mendaftarkan diri kepada panitia acara. Tidak ketinggalan pula Kukuban dan Giran turut ambil bagian dalam acara tersebut.

Pada hari yang telah ditentukan, seluruh peserta berkumpul di sebuah tanah lapang. Sorak sorai penonton pun terdengar mendukung jagoannya masing-masing. Beberapa saat kemudian, panitia segera memukul gong pertanda acara dimulai. Rupanya, Kukuban mendapat giliran pertama tampil bersama seorang lawannya dari dusun tetangga. Tampak keduanya saling berhadap-hadapan di tengah arena untuk saling adu ketangkasan. Siapa pun yang menang dalam pertarungan itu, maka dia akan melawan peserta berikutnya. Ternyata, Kukuban berhasil mengalahkan lawannya. Setelah itu, peserta berikutnya satu per satu masuk ke arena gelanggang perhelatan untuk melawan Kukuban, namun belum seorang pun yang mampu mengalahkannya. Masih tersisa satu peserta lagi yang belum maju, yakni si Giran. Kini, Kukuban menghadapi lawan yang seimbang.

"Hai, Giran! Majulah kalau berani!" tantang Kukuban.

"Baiklah, Bang! Bersiap-siaplah menerima seranganku!" jawab Giran dan langsung menyerang Kukuban.

Maka terjadilah pertarungan sengit antara Giran dan Kukuban. Mulanya, Giran melakukan serangan secara bertubi-tubi ke arah Kububan, namun semua serangannya mampu dielakkan oleh Kukubun. Beberapa saat kemudian, keadaan jadi terbalik. Kukuban yang balik menyerang. Ia terus menyerang Giran dengan jurus-jurus andalannya secara bertubi-tubi. Giran pun terdesak dan kesulitan menghindari serangannya. Pada saat yang tepat, Kukuban melayangkan sebuah tendangan keras kaki kirinya ke arah Giran. Giran yang tidak mampu lagi menghindar, terpaksa menangkisnya dengan kedua tangannya.

"Aduh, sakit! Kakiku patah!" pekik Kukuban dan langsung berguling di tanah sambil menjerit kesakitan.

Rupanya, tangkisan Giran itu membuat kaki kirinya patah. Ia pun tidak mampu lagi melanjutkan pertandingan dan dinyatakan kalah dalam gelanggang tersebut. Sejak itu, Kukuban merasa kesal dan dendam terhadap Giran karena merasa telah dipermalukan di depan umum. Namun, dendam tersebut dipendamnya dalam hati.

Beberapa bulan kemudian, dendam Kukuban yang dipendam dalam hati itu akhirnya terungkap juga. Hal itu bermula ketika suatu malam, yakni ketika cahaya purnama menerangi perkampungan sekitar Gunung Tinjau, Datuk Limbatang bersama istrinya berkunjung ke rumah Bujang Sembilan. Kedatangan orangtua Giran tersebut bukan untuk mengajari mereka cara bercocok tanam atau tata cara adat, melainkan ingin menyampaikan pinangan Giran kepada Sani.

"Maaf, Bujang Sembilan! Maksud kedatangan kami kemari ingin lebih mempererat hubungan kekeluargaan kita," ungkap Datuk Limbatang.

"Apa maksud, Engku?" tanya si Kudun bingung.

"Iya, Engku! Bukankah hubungan kekeluargaan kita selama ini baik-baik saja?" sambung Kaciak.

"Memang benar yang kamu katakan itu, Anakku," jawab Datuk Limbatang yang sudah menganggap Bujang Sembilan seperti anaknya sendiri.

"Begini, Anak-anakku! Untuk semakin mengeratkan hubungan keluarga kita, kami bermaksud menikahkan Giran dengan adik bungsu kalian, Siti Rasani," ungkap Datuk Limbatang.

"Pada dasarnya, kami juga merasakan hal yang sama, Engku! Kami merasa senang jika Giran menikah dengan adik kami. Giran adalah pemuda yang baik dan rajin," sambut si Kudun.

Namun, baru saja kalimat itu lepas dari mulut si Kudun, tiba-tiba terdengar suara bentakan yang sangat keras dari Kukuban.

"Tidak! Aku tidak setuju dengan pernikahan mereka! Aku tahu siapa Giran," seru Kukuban dengan wajah memerah.

"Dia pemuda sombong, tidak tahu sopan santun dan kurang ajar. Dia tidak pantas menjadi suami Sani," tambahnya.

"Mengapa kamu berkata begitu, Anakku? Adakah perkataan atau perilakunya yang pernah menyinggung perasaanmu?" tanya Datuk Limbatang dengan tenang.

"Ada, Engku! Masih ingatkah tindakan Giran terhadapku di gelanggang perhelatan beberapa bulan yang lalu? Dia telah mematahkan kaki kiriku dan sampai sekarang masih ada bekasnya," jawab Kukuban sambil menyingsingkan celana panjangnya untuk memperlihatkan bekas kakinya yang patah.

"Oooh, itu!" jawab Datuk Limbatang singkat sambil tersenyum.

"Soal kaki terkilir dan kaki patah, kalah ataupun menang dalam gelanggan itu hal biasa. Memang begitu kalau bertarung," ujar Datuk Limbatang.

"Tapi, Engku! Anak Engku telah mempermalukanku di depan orang banyak," sambut Kukuban.

"Aku kira Giran tidak bermaksud mempermalukan saudaranya sendiri," kata Datuk Limbatang.

"Ah, itu kata Engku, karena ingin membela anak sendiri! Di mana keadilan Engku sebagai pemimpin adat?" bantah Kukuban sambil menghempaskan tangannya ke lantai.

Semua yang ada dalam pertemuan itu terdiam. Kedelapan saudaranya tak satu pun yang berani angkat bicara. Suasana pun menjadi hening dan tegang. Kecuali Datuk Limbatang, yang terlihat tenang.

"Maaf, Anakku! Aku tidak membela siapa pun. Aku hanya mengatakan kebenaran. Keadilan harus didasarkan pada kebenaran," ujar Datuk Limbatang.

"Kebenaran apalagi yang Engku maksud. Bukankah Giran telah nyata-nyata mencoreng mukaku di tengah keramaian?"

"Ketahuilah, Anakku! Menurut kesaksian banyak orang yang melihat peristiwa itu, kamu sendiri yang menyerang Giran yang terdesak dengan sebuah tendangan keras, lalu ditangkis oleh Giran. Tangkisan itulah yang membuat kakimu patah. Apakah menurutmu menangkis serangan itu perbuatan curang dan salah?" tanya Datuk Limbatang.

Kukuban hanya terdiam mendengar pertanyaan itu. Walaupun dalam hatinya mengakui bahwa apa yang dikatakan Datuk Limbatang adalah benar, tetapi karena hatinya sudah diselimuti perasaan dendam, ia tetap tidak mau menerimanya.

"Terserah Engku kalau tetap mau membela anak sendiri. Tapi, Sani adalah adik kami. Aku tidak akan menikahkan Sani dengan anak Engku," kata Kukuban dengan ketus.

"Baiklah, Anakku! Aku juga tidak akan memaksamu. Tapi, kami berharap semoga suatu hari nanti keputusan ini dapat berubah," kata Datuk Limbatang seraya berpamitan pulang ke rumah bersama istrinya.

Rupanya, Siti Rasani yang berada di dalam kamar mendengar semua pembicaraan mereka. Ia sangat bersedih mendengar putusan kakak sulungnya itu. Baginya, Giran adalah calon suami yang ia idam-idamkan selama ini. Sejak kejadian itu, Sani selalu terlihat murung. Hampir setiap hari ia duduk termenung memikirkan jalah keluar bagi masalah yang dihadapinya. Begitupula si Giran, memikirkan hal yang sama. Berhari-hari kedua pasangan kekasih itu berpikir, namun belum juga menemukan jalan keluar. Akhirnya, keduanya pun sepakat bertemu di tempat biasanya, yakni di sebuah ladang di tepi sungai, untuk merundingkan masalah yang sedang mereka hadapi.

"Apa yang harus kita lakukan, Dik?" tanya Giran.

"Entahlah, Bang! Adik juga tidak tahu harus berbuat apa. Semua keputusan dalam keluarga Adik ada di tangan Bang Kukuban. Sementara dia sangat benci dan dendam kepada Abang," jawab Sani sambil menghela nafas panjang.

Beberapa lama mereka berunding di tepi sungai itu, namun belum juga menemukan jalan keluar. Dengan perasaan kalut, Sani beranjak dari tempat duduknya. Tiba-tiba sepotong ranting berduri tersangkut pada sarungnya.

"Aduh, sarungku sobek!" teriak Sani kaget.

"Wah, sepertinya pahamu tergores duri. Duduklah Adik, Abang akan mengobati lukamu itu!" ujar Giran.

Giran pun segera mencari daun obat-obatan di sekitarnya dan meramunya. Setelah itu, ia membersihkan darah yang keluar dari paha Sani, lalu mengobati lukanya. Pada saat itulah, tiba-tiba puluhan orang keluar dari balik pepohonan dan segera mengurung keduanya. Mereka adalah Bujang Sembilan bersama beberapa warga lainnya.

"Hei, rupanya kalian di sini!" seru Kukuban.

Giran dan Sani pun tidak tahu harus berbuat apa. Keduanya benar-benar tidak menyangka jika ada puluhan orang sedang mengintai gerak-gerik mereka.

"Tangkap mereka! Kita bawa mereka ke sidang adat!" perintah Kukuban.

"Ampun, Bang! Kami tidak melakukan apa-apa. Saya hanya mengobati luka Sani yang terkena duri," kata Giran.

"Dasar pembohong! Aku melihat sendiri kamu mengusap-usap paha adikku!" bentak Kukuban.

"Iya benar! Kalian telah melakukan perbuatan terlarang. Kalian harus dibawa ke sidang adat untuk dihukum," sambung seorang warga.

Akhirnya, Giran dan Sani digiring ke kampung menuju ke ruang persidangan. Kukuban bersama kedelapan saudaranya dan beberapa warga lainnya memberi kesaksian bahwa mereka melihat sendiri perbuatan terlarang yang dilakukan oleh Giran dan Sani. Meskipun Giran dan Sani telah melakukan pembelaan dan dibantu oleh Datuk Limbatang, namun persidangan memutuskan bahwa keduanya bersalah telah melanggar adat yang berlaku di kampung itu. Perbuatan mereka sangat memalukan dan dapat membawa sial. Maka sebagai hukumannya, keduanya harus dibuang ke kawah Gunung Tinjau agar kampung tersebut terhindar dari malapetaka.

Keputusan itu pun diumumkan ke seluruh penjuru kampung di sekitar Gunung Tinjau. Setelah itu, Giran dan Sani diarak menuju ke puncak Gunung Tinjau dengan tangan terikat di belakang. Sesampainya di pinggir kawah, mata mereka ditutup dengan kain hitam. Sebelum hukuman dilaksanakan, mereka diberi kesempatan untuk berbicara.

"Wahai kalian semua, ketahuilah! Kami tidak melakukan perbuatan terlarang apa pun. Karena itu, kami yakin tidak bersalah," ucap Giran.

Setelah itu, Giran menengadahkan kedua tanganya ke langit sambil berdoa.

"Ya Tuhan! Mohon dengar dan kabulkan doa kami. Jika kami memang benar-benar bersalah, hancurkanlah tubuh kami di dalam air kawah gunung yang panas ini. Akan tetapi, jika kami tidak bersalah, letuskanlah gunung ini dan kutuk Bujang Sembilan menjadi ikan!"

Usai memanjatkan doa, Giran dan Sani segera melompat ke dalam kawah. Keduanya pun tenggelam di dalam air kawah. Sebagian orang yang menyaksikan peristiwa itu diliputi oleh rasa tegang dan cemas. Jika Giran benar-benar tidak bersalah dan doanya dikabulkan, maka mereka semua akan binasa. Ternyata benar. Permohonan Giran dikabulkan oleh Tuhan. Beberapa saat berselang, gunung itu tiba-tiba bergetar dan diikuti letusan yang sangat keras. Lahar panas pun menyembur keluar dari dalam kawah, mengalir menuju ke perkampungan dan menghancurkan semua yang dilewatinya. Semua orang berusaha untuk menyelamatkan diri. Namun, naas nasib mereka. Letusan Gunung Tinjau semakin dahsyat hingga gunung itu luluh lantak. Tak seorang pun yang selamat. Bujang Sembilan pun menjelma menjadi ikan.

Demikian cerita Asal Usul Danau Maninjau dari Agam, Sumatra Barat, Indonesia. Konon, letusan Gunung Tinjau itu menyisakan kawah yang luas dan lama-kelamaan berubah menjadi danau. Oleh masyarakat sekitar, nama gunung itu kemudian diabadikan menjadi nama danau, yakni Danau Maninjau. Sementara nama-nama tokoh yang terlibat dalam peristiwa itu diabadikan menjadi nama nagari di sekitar Danau Maninjau, seperti Tanjung Sani, Sikudun, Bayua, Koto Malintang, Koto Kaciak, Sigalapuang, Balok, Kukuban, dan Sungai Batang.

Cerita di atas termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik, yaitu akibat buruk yang ditimbulkan oleh sifat dendam. Dendam telah menjadikan Kukuban tega menfitnah Giran dan Sani telah melakukan perbuatan terlarang. Dari hal ini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa sifat dendam dapat mendorong seseorang berbuat aniaya terhadap orang lain, demi membalaskan dendamnya. Dalam kehidupan orang Melayu, sifat dendam ini sangat dipantangkan. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

siapa tak tahu kesalahan sendiri,
lambat laun hidupnya keji
kalau suka berdendam kesumat

alamat hidup akan melarat

Asal Mula Ikan Duyung


Kategori: Cerita Rakyat
Elemen Budaya: Cerita Rakyat
Provinsi: Sulawesi Tengah
Asal Daerah: Sulawesi tenga
Pada zaman dahulu kala, hiduplah sebuah keluarga yang terdiri atas Ayah, Ibu, dan tiga orang anak yang masih kecil. Anak paling bungsu masih menyusui.

Suatu hari sang Ayah meminta si Ibu menyimpan ikan yang akan dimakannya sore hari setelah pulang dari kebun. Si Ibu menyimpannya di lemari.

Siangnya anak yang paling kecil merengek minta ikan yang disimpan Ibunya itu. Si Ibu sempat melarang, tetapi ia tidak tega karena si anak terus merengek sampai menangis. Akhirnya si Ibu memberikan ikan tersebut kepada anaknya.

Sorenya, ketika mengetahui ikannya sudah habis, si Ayah marah karena ia sangat lapar setelah seharian bekerja. Ia menganggap istrinya tidak menyimpan makanan itu dengan baik sehingga ketahuan anak mereka. Sepanjang malam ia terus mengomel sehingga membuat istrinya sedih.

Tengah malam, sambil menangis, si Ibu pun berjalan keluar rumah. Ia berjalan menuju laut ketika anaknya sudah tidur.

Pagi harinya, ketiga anak itu mencari-cari si Ibu. Mereka mencari ke semua ruangan, tetapi tak kunjung menemukan Ibu mereka. Akhirnya si sulung mengajak adik-adiknya mencari Ibu mereka di laut.

"Mungkin Ibu ke laut mencari ikan agar Ayah tidak marah lagi" katanya.

Ketiganya berteriak-teriak memanggil Ibunya. Akhirnya, sang Ibu pun muncul dan segera memeluk anaknya. Ia mengambil si kecil dan menyusuinya.

"Setelah ini kalian pulang ya?" kata sang Ibu. Ketiga anaknya mengikuti kata Ibunya karena mereka pikir Ibunya akan segera menyusul pulang.

Sampai larut malam Ibu mereka tidak kunjung tiba. Keesokan harinya, anak-anak ini pergi lagi ke pantai mencari si Ibu. Setelah tiga kali berteriak memanggil, Ibu mereka pun muncul, lalu si Ibu menyusui si bungsu dengan penuh kasih sayang.

Tiba-tiba terjadi keanehan pada tubuh sang Ibu. Kulitnya mulai bersisik seperti ikan. Ketiga anak tersebut terkejut dan menyangkal bahwa itu adalah Ibu mereka.

"Kemarilah nak, biarkan Ibu menyusui adikmu," kata sang Ibu mengiba.

"Maaf, kau bukan Ibu kami. Ibu kami tidak bersisik seperti mu. Kau Cuma mirip dengan Ibu kami," kata anak-anak itu. Lalu mereka kembali menyusuri pantai mencari Ibu mereka.

Sang Ibu sangat sedih mendengar kata-kata anaknya. Namun, ia tidak bisa berbuat apa-apa karena ditubuhnya kini telah muncul sisik-sisik seperti ikan.

Konon demikianlah asal usul ikan duyung.

Asal Muasal Kambing


Kategori: Cerita Rakyat
Elemen Budaya: Cerita Rakyat
Provinsi: Jawa Timur
Asal Daerah: Jawa Timur

Pada jaman dahulu kala ada sebuah kerajaan animisme di tanah Jawa. Suatu hari seoranga raja tersebut merasa bosan makanan-makanan yang ada di muka bumi ini, jadi sang raja mengadakan sayembara/perlombaan makanan pertama. Seluruh rakyat disuruh mencarai barang siapa yang dapat menemukan maka sang raja akan memenuhi permintaan, meski belum mengatakan. Tapi tak ada seopranag pun yang dapat menemukan makanan itu. Djoro Soma anak sang raja menjadi resah karena ayahya tidak bersyukur yang diberikan oleh sang Hyang, sang raja memarahi dan membentak makanan yang ada di hadapinya. Lalu Djoro Soma mengikuti perlombaan itu, lalu soma berpamitan ke orang tuanya dan ia pergi dan memperdalam ilmu di padepokan sang guru. Soma 44 hari berlatih di sana.

"Hei anak muda apa alasanmu berguru ke pada saya?" tanya guru.

"Saya berguru kepada Anda karena saya ingin memuasakan hati ayah saya, ayah saya bosan dengan makanan yang ada di dunia ini" jawab Soma.

Lalu guru menunjukan tempat makanan itu, Soma harus ke alam ghaib, di sana ada padang rumput hijau. Soma dibekali oleh guru 2 senjata yaitu golok dan arit.

"Nak, ingatalah arit ini untuk kehidupan dia dan golok untuk mengahiri umurnya" pesan guru.

Lalu Soma dimasukan ke alam lain, disana ia bertemu dengan mahluk bertanduk di kepala, janggut, dan kaki-tanganya dengan wujud menyeramkan dan ia bernama Cokro Inggilamang. Lalu pertempuran dimulai. Soma menyerang lebih dahulu dengan senjata arit. Soma menebaskannya ketubuh dan Cokro lebih kuat. Lalu Soma di serang Cokro dengan tanduk di kepalanya. Soma kesakitan. Lalu ia golok semua hingga tanduk Cokro patah semua. Lalu soma menebaskan lagi goloknya ke leher Cokro dan kepalanya hampir putus. Sebelum Cokro matai cokro mengutuk.

"Soma, kau akan menjadi penerusku dan wujudmu lebih buruk dari aku" kutuk Cokro.

Lalu Cokro mati. Tiba- tiba tubuh Soma menjadi lebih kecil dan badannya membungkuk. Tumbuh ekor, tanduk, jengot, telinga lebar dan serta di mulutnya maju moncong. Guru yang berada di alam nyata berfirasat buruk. Lalu guru menjemput soma. Ia ternyata sudah berwujud hewan bertanduk 4. Guru lalu mengantarkan Soma pulang ke kerajaan. Sang ayah merasa resah karena Soma tidak pulang-pulang.

Ketika guru tiba di kerajaan ia berkata "hei raja saya membawa berita baik dan buruk" jerit guru dari jauh.

"Nama saya guru Ki Ages, sebelumnya maaf kan saya karena saya sudah lancang, saya membawa anak Anda dan makanan" kata sang Guru.

"Mana anaku?" sahut raja.

Lalu guru memperlihatakan binatang itu ke raja hewan. "Apa itu?" tanya raja.

"Ini adalah anakmu, ia yang menginginkan kamu untuk memberi nama dan menyembelihnya" kata guru.

Sang raja memberi nama Wedus, yang berarti temuan anak sang raja. Ia kemudian mengambil rumput dengan arit dan di makankan. Sekejap setelah itu lehernya di potong dengan golok, sungguh ajaib Wedus tersebut jumlahnya menjadi banyak sekali. Untuk menyambut temuan anaknya yang ajaib 1/4 kambing dijadiakn makanan 1/4 untuk diadukan, dan 1/4-nya diternakan. Acara syukuran itu diselenggarakan atas keberhasilan. Sebelum makan-makan kambing diadu dan yang menang di jadikan hewan pilihan. Saat itu lah acara dimulai.

Setelah selesai makan-makan guru mengatakan "oh, sang raja mengapa engkau sungguh tidak menyesali atas keserakahanmu kamu tega memakan anakmu sendiri" kata guru.

Tiba-tiba raja membungkuk dan mengungkapkan penyesalanya di depan kambing jagoan adu yang menggunakan tanduk.

"Aku menyesali atas perbuatanku, ketidak syukuranku dan sikap selalu hura-hura" kata sang raja.

"Andai aku bertemu dengan anaku aku akan bertobat dan meninggalakan semua perbuatan jeleku yang lalu" sesal raja sambil menagis.

Tetesan air matanya jatuh di kepala kambing jagoan tersebut. Tiba-tiba kambing tersebut berubah menjadi Soma. Soma terharu atas penyesalan ayahnya. Ia lalu mengusapkan air mata ayahnya. Kemudian raja memang berubah dan lebih baik. Dapat di artikan bahwa arit hanya untuk kehidupan, yaitu untuk memangakas rumput.

Sedangkan golok untuk memotong dengan cara sembelih. Nama Cokro Inggilamang yang berarti kekuatan ada pada yang paling atas. Biasanya kambing kalau bertengkar atau diadu selalu menggunakan bagaian tubuh yang paling atas yaitu senjata atau tanduk.

Pengarang : Anas Arrosyid Hanafi, siswa SMK PGRI 1 Gresik tahun 2009, dibuat tahun 2007
Alamat : Jl. Arif Rahman Hakim No.2b Unigres, Gresik.

Anok Lumang



Kategori: Cerita Rakyat
Elemen Budaya: Cerita Rakyat
Provinsi: Bengkulu
Asal Daerah: Bengkulu

Anok Lumang adalah seorang pemuda miskin yang tinggal di Tanah Sekalawi (Kabupaten Lebong sekarang), Provinsi Bengkulu, Indonesia. Dalam bahasa setempat, kata anok lumang berarti anak yatim piatu. Namun berkat kesabaran, kerja keras, dan ketekunannya beribadah, Anok Lumang menikah dengan seorang gadis cantik, anak seorang penguasa kota. Bagaimana lika-liku perjalanan hidup Anok Lumang, sehingga bisa menikah dengan anak seorang penguasa kota? Ikuti kisahnya dalam cerita Anok Lumang berikut ini!

Alkisah, di tanah Kenah Sekalawi (Kabupaten Lebong), Bengkulu, hiduplah seorang anak laki-laki miskin. Kedua orangtuanya meninggal dunia sejak ia masih kecil. Hidupnya sangat memprihatinkan karena kedua orangtunya tidak meninggalkan harta benda untuknya, kecuali hanya sebuah gubuk reot yang terletak di pinggir kampung. Di gubuk itulah ia tinggal sendirian, tanpa saudara dan sanak keluarga. Yang lebih memprihatinkan lagi, tak seorang pun penduduk yang mau membantunya, apalagi mengambilnya sebagai anak angkat. Bahkan ia sering dihina oleh anak-anak kampung yang sebaya dengannya. Meski demikian, Anok Lumang tidak pernah marah dan dendam.

Anok Lumang hidup benar-benar terasing dan sebatang kara di kampung itu. Semua orang jijik untuk datang ke gubuknya dan tidak mau bergaul dengannya, apalagi ia setiap harinya hanya memakai pakaian yang sudah kumal dan penuh dengan tambalan.

Waktu terus berjalan. Anok Lumang tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan tampan. Ia sangat rajin beribadah. Setiap waktu salat tiba, ia senantiasa datang ke masjid untuk melaksanakan shalat berjamaah. Ia juga pandai mengaji. Ia belajar mengaji pada Gua'au Abdullah, seorang guru ngaji yang belum lama tinggal di kampung itu.

Pada suatu hari, seusai mengajar mengaji, Gua'au Abdullah bertanya kepadanya.

"Hai, Anok Lumang! Berapa umurmu sekarang?" tanya Gua'au Abdullah.

Anok Lumang tersentak kaget mendengar pertanyaan itu. Ia tidak mengerti maksud gurunya itu menanyakan umurnya.

Ada apa, Tuan Guru? Mengapa Tuan Guru menanyakan umurku? Anok Lumang balik bertanya.

"Tidak ada apa-apa, Anak Lumang? Aku hanya berpikir bahwa kenapa pemuda setampan kamu belum juga menikah. Bukankah di kampung ini banyak gadis cantik?" jawab Gua'au Abdullah.

"Umur saya 18 tahun. Memang sudah sepantasnya saya menikah. Tapi, saya belum pernah memikirkan hal itu. Apalagi gadis-gadis di kampung ini semuanya menjauhi saya. Mereka enggan dan jijik bergaul dengan saya, karena saya anak yatim piatu dan miskin," ungkap Anok Lumang.

"Janganlah berkecil hati, Anok Lumang! Hadapilah semua itu dengan tabah dan senantiasalah bekerja keras dan mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Suatu saat nanti, Tuhan akan memberimu petunjuk," ujar Gua'au Abdullah.

Sejak itu, Anok Lumang semakin rajin bekerja dan beribadah. Hampir setiap malam ia bangun untuk salat tahajud dan berdoa kepada Tuhan agar dimudahkan jalan hidupnya. Akhirnya, berkat ketekunannya tersebut, ia pun mendapat petunjuk dari Tuhan Yang Mahakuasa.

Suatu hari, ketika sedang beristirahat di bawah sebuah pohon karena kelelahan setelah mengumpulkan ranting-ranting kayu, Anok Lumang bermimpi didatangi oleh seorang perempuan paruh baya mengenakan pakaian putih-putih. Meskipun berumur paruh baya, perempuan itu tetap tampak cantik, anggun, dan berwibawa. Dalam mimpinya, perempuan cantik itu berpesan kepadanya.

"Wahai, Anak Muda! Kamu harus lebih giat lagi bekerja dan hasilnya kamu tabung! Jika suatu saat tabunganmu sudah terkumpul banyak, pergilah ke kota untuk mengadu nasib. Di sana nasib baik sedang menunggumu!"

Setelah terbangun dari tidurnya, Anok Lumang segera mengingat-ingat isi mimpinya dan mencoba untuk melaksanakan semua pesan perempuan itu. Dengan penuh semangat, setiap hari ia bekerja keras mengumpulkan kayu bakar sebanyak-banyaknya untuk dijual ke pasar. Dua bulan kemudian, kayu bakarnya pun habis terjual. Dengan bekal secukupnya, berangkatlah ia ke kota yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Dalam perjalanan, ia selalu membayangkan kehidupan kota.

Sesampainya di kota, Anok Lumang tidak tahu harus berbuat apa. Namun, hatinya sangat senang melihat keramaian kota dan berbagai jenis barang bagus yang ada di sana. Para penduduk kota rata-rata mengenakan pakaian bagus-bagus. Rumah-rumah penduduk tampak indah berjejer di pinggir jalan. Saat malam menjelang, Anok Lumang bingung harus menginap di mana, karena ia tidak mempunyai sanak keluarga dan kenalan. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk tidur di masjid. Siang harinya, ia hanya menyusuri jalan-jalan kota tanpa arah dan tujuan, dan lama kelamaan bekalnya pun semakin menipis. Bekal yang tersisa hanya cukup untuk tiga hari. Mulanya, ia berniat untuk kembali lagi ke kampung halamannya, namun ongkos untuk pulang tidak cukup lagi. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk bertahan hidup di kota.

"Ah, aku tidak boleh putus asa. Aku yakin Tuhan pasti akan melindungiku," ucapnya dengan penuh keyakinan.

Keesokan harinya, Anok Lumang mendengar kabar bahwa penguasa kota sedang mengadakan sayembara. Barang siapa yang mampu menyembuhkan penyakit anak gadis penguasa itu, ia akan dinikahkan dengan sang Gadis dan diangkat menjadi kepala keamanan kota. Akan tetapi, jika gagal ia akan dimasukkan ke dalam penjara.

Anok Lumang pun segera berjalan menuju ke rumah penguasa kota itu. Namun, ia tidak pernah berpikir untuk ikut dalam sayembara itu. Ia hanya ingin menyaksikan sayembara tersebut.

Ketika Anok Lumang tiba di depan rumah penguasa itu, tampaklah para peserta sayembara berkumpul di halaman rumah sedang menunggu giliran dipanggil untuk mengobati sang Gadis yang terbaring lemas di dalam rumah. Ia berdiri di barisan paling belakang sambil memerhatikan para peserta silih berganti masuk ke dalam rumah penguasa kota itu. Beberapa lama kemudian, seluruh peserta sayembara telah mencoba kemampuan ilmu pengobatannya, namun tak seorang pun yang berhasil menyembuhkan penyakit sang Gadis. Sementara Anok Lumang masih terpakau di tempatnya berdiri. Tanpa disadarinya, seorang pengawal datang menghampirinya karena mengiranya sebagai peserta sayembara yang terakhir.

"Hai, Pemuda Kumal! Kenapa kamu hanya berdiri di situ? Kini giliranmu mengobati penyakit anak tuan kami," tegur pengawal itu.

Anok Lumang sangat terkejut, karena merasa dirinya bukanlah peserta sayembara. Ia pun ketakutan dan hendak pergi meninggalkan tempat itu. Namun, ketika ia akan melangkah pergi, kakinya terasa berat, seakan-akan tertanam di tanah. Secara tidak sengaja, tiba-tiba ia mengangguk seolah ada orang yang menggerakkan kepalanya. Akhirnya, pengawal itu pun mempersilahkannya masuk ke dalam rumah untuk mengobati sang Gadis.

"Tapi, ingat! Jika kamu gagal menyembuhkan penyakit anak tuan kami, maka kamu akan dipenjara!" ancam pengawal itu.

Anok Lumang pun semakin ketakutan mendengar ancaman itu. Namun, apa hendak dibuat, mau menolak ia pun sudah terlanjur menganggukan kepala sebagai tanda siap untuk mengobati sang Gadis. Dengan memohon kepada Tuhan, ia pun mengikuti pengawal itu masuk ke dalam rumah penguasa kota yang megah dan besar itu. Ia dibawa ke sebuah kamar. Saat memasuki kamar itu, ia melihat seorang gadis cantik jelita tergeletak lemas dengan mata tertutup di atas pembaringan.

"Silahkan, wahai pemuda kumal! Jika kamu ingin selamat, keluarkanlah semua kemampuan yang kamu miliki!" seru pengawal itu dengan nada mengancam.

Setelah memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa, Anok Lumang mengucap "Bismillah" seraya meniupkan pada kedua telapak tangannya. Kemudian ia seakan-akan mengusapkan kedua telapak tangannya pada seluruh bagian tubuh gadis itu, tanpa menyentuh sedikit pun kulit tubuh sang Gadis. Sungguh ajaib! Beberapa saat kemudian, gadis itu membuka matanya secara pelan-pelan dan langsung bangun sambil mengusap-usap wajahnya tiga kali.

"Ayah, Ibu! Aku ada di mana?" ucap gadis itu memanggil kedua orang tuanya.

Betapa bahagianya para pembantu penguasa kota yang berada di dalam kamar itu. Anak tuan mereka kembali sehat seperti sedia kala. Sementara Anok Lumang badannya gemetar karena takut. Apalagi pengawal itu membawanya menghadap kepada penguasa kota di sebuah ruangan besar.

"Terima kasih, Anak Muda! Kamu telah menyembuhkan penyakit anak gadisku. Siapa sebenarnya kamu ini dan dari mana asalmu?" tanya penguasa kota itu.

"Saya Anok Lumang, Tuan! Saya berasal dari kampung dan pergi ke kota ini untuk mengadu nasib," jawab Anok Lumang gugup.

"Baiklah, Anok Lumang! Siapa pun dirimu dan dari mana pun asalmu, aku tidak mempermasalahkan. Sesuai dengan janjiku, aku akan menikahkanmu dengan anak gadisku dan mengangkatmu menjadi kepala keamanan kota ini," kata penguasa kota itu.

Mendengar pernyataan itu, hati Anok Lumang yang semula gelisah tiba-tiba berubah menjadi senang dan gembira seraya berucap sambil menengadahkan kedua tangannya ke atas.

"Terima kasih Tuhan atas segala nikmat-Mu ini!"

Seminggu kemudian, Anok Lumang pun dinikahkan dengan anak gadis penguasa itu. Pesta pernikahan mereka yang berlangsung selama tujuh hari tujuh malam tersebut dihadiri oleh para undangan yang datang dari berbagai negeri. Dalam pesta tersebut dipergelarkan berbagai jenis tarian dan musik. Para undangan bersuka ria dan bahagia melihat pasangan pengantin yang sedang duduk bersanding di atas pelaminan.

Usai pesta tersebut, penguasa kota itu segera mengangkat Anok Lumang menjadi kepala keamanan kota. Sejak itu, Anok Lumang selalu dikawal ke mana pun pergi dan kehidupannya pun serba berkecukupan.

Setelah beberapa lama menikah, mereka pun dikaruniai dua orang anak, satu laki-laki dan satu perempun. Anok Lumang sangat bahagia hidup bersama istri dan kedua anaknya. Namun, kebahagiaan tersebut tidak membuatnya lupa kepada kampung halamannya. Ia pun berniat mengajak keluarganya untuk melihat tempat kelahirannya itu.

Pada suatu hari, Anok Lumang menyampaikan niat tersebut kepada mertuanya. Mendengar keinginan menantunya itu, sang mertua pun membekalinya harta yang banyak, kendaraan, dan sejumlah pengawal. Maka, berangkatlah rombongan Anok Lumang menuju ke kampung halamannya. Ketika mereka tiba di kampung Anok Lumang, para warga terheran-heran melihat kedatangan mereka.

"Siapa gerangan orang kaya dan berpangkat itu?" tanya seorang warga heran.

"Hei, lihat! Rombongan menuju ke gubuk Anok Lumang!" seru seorang warga lainnya.

"Wah, jangan-jangan orang kaya itu si Anok Lumang?" sahut seorang warga lagi.

Tak berapa lama, rombongan itu berhenti di depan gubuk Anok Lumang yang hampir roboh itu.

"Bang, kenapa kita berhenti di sini? Apakah ini tempat tinggal Abang?" tanya istri Anok Lumang heran.

"Iya, Istriku! Di gubuk inillah Abang dilahirkan," jawab Anok Lumang sambil tersenyum.

Mendengar jawaban Anok Lumang, istri dan anak-anaknya serta para pengawalnya tersentak kaget. Mereka tidak mengira jika tempat tinggal Anok Lumang hanyalah sebuah gubuk reot. Melihat kondisi gubuk suaminya yang memprihatinkan itu, sang Istri pun segera memerintahkan seluruh pengawalnnya untuk membangun sebuah rumah yang bagus. Dalam waktu tidak lama, rumah yang dimaksud itu pun selesai dibangun.

Para penduduk pun gempar dan malu saat mengetahui bahwa orang kaya itu adalah Anok Lumang yang sering mereka hina dulu. Namun, Anok Lumang tetap rendah hati seperti dulu. Ia tidak pernah merasa dendam dan tetap ramah kepada tetangga dan penduduk di sekitarnya.

Sejak itu, Anok Lumang sering mengunjungi kampung halamannya bersama istri dan kedua anaknya. Ia sangat disegani dan dihormati oleh penduduk sekitar, karena senantiasa membantu orang-orang yang tidak mampu di kampungnya. Namanya pun semakin terkenal karena kemuliaan hati dan sikapnya yang sangat pemurah.

Demikian cerita Anok Lumang dari daerah Lebong, Bengkulu. Cerita di atas termasuk kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Sedikitnya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas yaitu keutamaan sifat bekerja keras dan rajin berdoa, dan tidak pendendam atau murah hati.

Pertama, keutamaan sifat bekerja keras dan rajin berdoa. Sifat ini ditunjukkan oleh perilaku Anok Lumang yang selalu bekerja keras dan senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Berkat kerja keras dan ketekunannya beribadah tersebut, ia pun dapat menikah dengan anak gadis penguasa kota dan diangkat menjadi kepala keamanan kota. Dalam tunjuk ajar Melayu dikatakan:

apa tanda Melayu beradat,
bekerja rajin, beramal pun taat

apa tanda Melayu beradat,
bekerja dengan penuh semangat

wahai ananda dengarlah pesan,
dalam bekerja banyakkan ingat
jangan dikira ringan dan berat
semoga hidupmu beroleh berkah

Kedua, keutamaan sifat tidak pendendam atau murah hati. Sifat ini ditunjukkan oleh perilaku Anok Lumang. Meskipun telah menjadi orang kaya raya, ia tidak pernah sakit hati dan dendam kepada tetangga dan penduduk di kampungnya yang sering menghinanya ketika ia masih kecil. Bahkan ia menjadi orang kaya yang pemurah, sehingga disegani dan dihormati oleh masyarakat sekitarnya. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

adat hidup bermasyarakat,
pantang sekali berdendam kesumat

apa tanda Melayu terpuji,
dendam mendendam pantang sekali
tangan pemurah suka memberi

wahai ananda sibiran tulang,
janganlah ragu memaafkan orang
sengketa habis dendam dibuang
hati pemurah hidupmu dikasihi orang

Angkri, Jagoan Tanjung Priok Yang Angkuh



Kategori: Cerita Rakyat
Elemen Budaya: Cerita Rakyat
Provinsi: DKI Jakarta
Asal Daerah: DKI JAKARTA


Alkisah, sekitar abad ke-19 Masehi, kawasan pelabuhan Batavia Lama atau kini dikenal dengan pelabuhan Tanjung Priok merupakan salah satu pusat keramaian di daerah Jakarta Utara. Setiap hari kapal-kapal pedagang dari dalam maupun luar daerah silih berganti berlabuh di pelabuhan tersebut untuk melakukan bongkar muat berbagai jenis barang dagangan seperti hasil bumi, barang pecah belah, kain sutra, dan sebagainya. Barang-barang dagangan tersebut kemudian disimpan di dalam gudang-gudang yang ada di kawasan pelabuhan Tanjung Priok.

Pada masa itu, pusat-pusat keramaian di Jakara Utara dikuasai oleh jagoan-jagoan silat. Pelabuhan Tanjung Priok sebagai salah satu pusat keramaian di daerah itu kebetulan dikuasai oleh seorang jagoan bernama Angkri dan dua orang pembantunya yaitu Bai dan Madun. Ke mana pun pergi, Angkri selalu mengenakan pakaian hitam-hitam, ikat kepala, gelang akar bahar di kedua lengannya, dan beberapa cincin batu akik yang besar bertengger di jari-jari tangannya. Selain itu, di pinggang Angkri dan anak buahnya juga selalu terselip golok yang amat tajam. Tidak mengherankan jika mereka amat ditakuti oleh penduduk sekitar, terutama mereka yang tinggal di sekitar pasar ikan.

Pada suatu siang, sebuah kapal besar sedang berlabuh di Pelabuhan Tanjung Priok. Kapal besar itu membawa barang dagangan berupa pecah belah dan kain sutra. Barang-barang dagangan tersebut diturunkan dari kapal dan kemudian disimpan di dalam gudang milik seorang opsinder Bloomekomp. Mengetahui hal itu, Angkri bersama kedua anak buahnya segera menyusun siasat secara diam-diam. Mereka bermaksud mencuri barang-barang dagangan tersebut. Sambil menunggu malam larut, mereka bermain kartu tidak jauh dari gudang yang akan menjadi sasarannya.

Ketika suasana di sekitar gudang mulai sepi, Angkri dan kedua anak buahnya segera bertindak. Dengan penuh kehati-hatian, mereka menjebol kunci pintu gudang itu dan menyelinap masuk ke dalam gudang. Bai dan Madun dengan cepat memasukkan sejumlah barang-barang pecah belah dan kain sutra ke dalam wadah yang mereka bawa. Sementara itu, Angkri berjaga-jaga di dekat pintu sambil mengawasi kalau-kalau ada orang yang memergoki mereka.

Setelah wadah mereka penuh dengan barang-barang berharga tersebut, Angkri dan kedua anak buahnya segera meninggalkan gudang itu. Mereka menyusuri lorong-lorong di sekitar rumah penduduk menuju ke arah barat Kota Intan.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali opsinder Bloomekomp hendak mengecek barang-barang dagangannya ke dalam gudang. Alangkah terkejutnya ia saat melihat kunci pintu gudangnya telah dirusak orang.
(...Hai, siapa yang telah merusak pintu gudangku?) gumamnya dengan perasaan cemas.

Begitu masuk ke dalam gudang, opsinder Bloomekomp menjadi marah dan geram karena sebagian barang dagangannya hilang. Ia pun segera melapor kepada kepala opas yang berjaga di kawasan pelabuhan tersebut. Mendengar laporan tersebut, kepala opas bersama anak buahnya segera melakukan penyelidikan. Dalam waktu tidak beberapa lama, mereka pun dapat mengetahui bahwa pelaku pencurian itu adalah Angkri dan kedua anak buahnya. Kepala opas kemudian menghubungi Bek Kasan (kepala kampung Kasan) dan tiga orang anggota keamanan untuk mencari tahu keberadaan ketiga pencuri tersebut.
(..Apakah kalian tahu ke mana biasanya Angkri dan kawan-kawannya pergi?..) tanya kepala opas kepada ketiga anggota keamanan tersebut.
(..Saya tahu, Pak,..) sahut salah seorang anggota keamanan, (..Kalau bukan ke Pasar Ikan, mereka biasanya ke Kampung Kapal Rusak..)
Mendengar keterangan itu, kepala opas, Bek Kasan serta ketiga anggota keamanan tersebut segera mencari Angkri dan kawan-kawannya di kedua tempat tersebut. Namun, Angkri dan kawan-kawannya tidak mereka temukan.

(..Ke mana lagi kita harus mencari mereka?..) tanya kepala opas bingung.

Bek Kasan dan ketiga anggota keamanan itu hanya diam karena mereka juga bingung. Akhirnya, mereka memutuskan untuk mencari keterangan kepada warga sekitar dan usaha itu pun membuahkan hasil. Menurut keterangan beberapa warga bahwa Angkri dan kawan-kawannya sedang berada di sebelah barat Kota Intan, dekat laut menuju ke Kamal.

(..Wah, mereka pasti akan pergi ke Kamal membawa barang-barang curian itu,..) celetuk kepala opas.
(..Kalau begitu, sebaiknya kita langsung saja ke sana sebelum mereka meninggalkan Kota Intan,..) ujar Bek Kasan.

Meskipun hari sudah mulai gelap, kepala opas dan rombongannya terus melakukan pengejaran untuk menangkap Angkri dan kawan-kawannya. Sementara itu, Angkri dan kedua anak buahnya sedang memasuki rumah teman lama mereka yang bernama Pak Ocin. Kebetulan pada saat itu, Kasun bersama istrinya Mujenah sedang bertamu di rumah itu. Kasun adalah teman lama mereka juga. Angkri bermaksud menitipkan barang-barang curiannya kepada Pak Ocin.

(..Hai, Ocin!..) seru Angkri, (..Saya mau titip barang ini di rumahmu. Besok pagi saya akan kembali mengambilnya. Saya mau mencari kapal dulu...)
Mengetahui bungkusan yang dibawa oleh kedua anak buah Angkri itu berisi barang-barang curian, Pak Ocin menolak untuk dititipi bungkusan tersebut.
(..Tidak bisa, Kri,..) jawab Pak Ocin.(..Apa katamu, Cin?..) gertak Angkri.

Bai dan Madun pun mulai jengkel melihat sikap Pak Ocin. Karena itu, keduanya bermaksud mencabut golok mereka yang terselip di pinggang untuk menghajar Pak Ocin.

(..Sabar, Dun! Sabar, Bai! Jangan kalian lakukan itu. Bukankah kita semua adalah teman lama,..) ujar Kasun untuk menenangkan mereka.

Baru saja kata-kata itu keluar dari mulut Kasun, tiba-tiba sebuah tamparan keras dari Angkri mendarat di pelipis kanannya.

(..Rasakanlah itu bagianmu, Sun!..) seru Angkrik.

Merasa dilecehkan Kasun langsung naik pitam sehingga perkelahian pun tidak terelakkan. Dengan segala kemampuan yang dimiliki, Kasun berupaya untuk menghadapi Angkri dan kedua anak buahnya. Melihat perkelahian itu, istri Kasan berteriak meminta tolong. Para tetangga yang mendengar teriakan itu, tidak berani datang menolong karena mereka sudah tahu siapa pembuat keributan tersebut. Mereka lebih baik pura-pura tidak mengetahui peristiwa itu daripada memberi pertolongan. Salah-salah merekalah bisa kena bacokan golok tajam si Angkri.

Sementara itu, perkelahian antara Kasun dengan Angkri dan anak buahnya masih berlangsung seru. Namun, karena dikeroyok oleh tiga orang jagoan silat, Kasun akhirnya roboh dan mukanya babak belur sehingga tidak bisa lagi melanjutkan pertarungan. Angkri dan anak buahnya pun bergegas meninggalkan rumah Pak Ocin dengan membawa barang-barang curian mereka.

Tak berapa lama setelah peristiwa itu, kepala opas dan rombongannya pun tiba di rumah Pak Ocin.


(..Hai, Kasun. Siapa yang membuat wajahmu babak belur begitu?..) tanya Bek Kasan heran.

(Angkri dan anak buahnya, Bek Kasan,) sahut Pak Ocin.

(..Di mana mereka sekarang?..)tanya kepala opas sudah tidak sabar ingin menghajar mereka.

(..Mereka baru saja pergi. Kira-kira lima menit yang lalu,..) jawab Pak Ocin.

(..Baiklah, kalau begitu,..) kata kepala opas, (..Pak Ocin, tolong kamu obati luka Pak Kasun! Kami akan mengejar mereka...)
Tidak begitu sulit kepala opas dan rombongannya menemukan mereka karena Angkri dan anak buahnya sedang membawa bungkusan yang cukup berat.

(..Hai kalian, berhenti!..) teriak kepala opas saat melihat Angkri dan anak buahnya.

Angkri dan anak buahnya berusaha mempercepat larinya, namun rombongan kepala opas telah mencegatnya. Kepala opas dan tiga orang anggota keamanan segera meringkus Bai dan Madun yang sudah tidak berdaya karena kelelahan. Sementara itu, Bek Kasan menantang Angkri untuk berkelahi. Angkri pun menerima tantangan itu.

(..Hai, Bek Kasan. Ilmu silatmu tidak ada apa-apanya dengan ilmu silatku. Majulah kalau memang kamu berani menantangku!..) seru Angkri dengan angkuhnya.

Pertarungan sengit pun tak terelakkan. Mulanya pertarungan itu berlangsung dengan tangan kosong. Namun, ketika mulai kewalahan menghindari serangan Bek Kasan yang datang bertubi-tubi, Angkri segera mencabut goloknya. Begitu ia hendak mengayunkan goloknya, tiba-tiba sebuah tendangan keras dari Bek Kasan mengenai tangannya. Golok yang ada di genggamannya pun terpental. Akhirnya, Angkri terpaksa kembali menggunakan tangan kosong sambil mengeluarkan jurus-jurus pamungkasnya. Dengan jurus pamungkas itu, ia berhasil mengenai tubuh Bek Kasan hingga jatuh terletang di atas sebuah batu besar. Angkri pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan cepat, ia meloncat dan menghunjamkan kedua lututnya ke arah perut Bek Kasan. Tanpa diduga, ternyata Bek Kasan lebih cepat menggulingkan badannya ke arah kanan sehingga kedua lutut Angkri menghunjam batu besar itu. Tak ayal, kedua lututnya patah sehingga tidak mampu lagi berdiri.

Melihat Angkri tidak berdaya, Bek Kasan segera memegang kepala dan menarik rambut musuhnya itu dari belakang.

(...Ampun! Ampun, Bek Kasan! Saya mengaku kalah,..) teriak Angkri memohon ampun.

Akhirnya, Angkri si jagoan dari Tanjung Priok itu menyerah. Ia kemudian diborgol dan dibawa ke kantor opas di di Kota Intan untuk selanjutnya disidang. Berdasarkan keputusan hakim, Angkri dan kedua anak buahnya dihukum atas tuduhan mencuri barang milik opsinder Bloomekomp. Bai dan Madun dihukum penjara beberapa tahun, sedangkan Angkri sebagai kepala perampok mendapat hukuman gantung. Sejak itu, kawasan pelabuhan Tanjung Priok menjadi aman. Para pedagang maupun nelayan dapat melaksanakan pekerjaan sehari-hari mereka tanpa dihantui perasaan takut mendapat gangguan dari Angkri dan anak buahnya.

Demikian cerita Angkri, Jagoan Tanjung Priok yang Angkuh dari DKI Jakarta. Pesan moral yang dipetik dari cerita di atas adalah orang yang angkuh karena ketinggian ilmunya pada akhirnya binasa juga. Demikian pula Angkri yang angkuh karena merasa ilmunya paling sakti pada akhirnya menyerah menghadapi Bek Kasan. Akibat perbuatannya, ia pun dijatuhi hukuman gantung.

Ande-Ande Lumut



Di sebuah desa hiduplah seorang Ksatria bernama Ande-Ande Lumut. Ia sedang mencari pasangan hidup. Ia seorang yang tampan, terkenal baik budi dan bahasanya. Oleh sebab itu, banyak gadis desa yang mengadu nasib untuk menjadi istri Ande-Ande Lumut. Mereka melamar Ande-Ande Lumut sebagai suaminya. Namun, belum ada juga yang pantas untuk dijadikan istri.

Tersebutlah ada kakak beradik yang juga ingin melamar Ande-Ande Lumut. mereka adalah Klenting Merah, Klenting Ungu, dan Klenting Kuning.



Yang pertama berusaha adalah Klenting Merah. Ia berjalan menuju tempat tinggal Ksatria itu. Ketika tiba disungai yang lebar, dalam, dan arus airnya besar, Klenting Merah ditawari oleh tukang rakit yang bernama Yuyu Kangkang untuk membantunya menyeberang. Upah yang dimintanya adalah Klenting Merah harus mau digigit dan dihisap darahnya. Tak pikir panjang, Klenting Merah menyetujuinya. Ketika sampai di rumah Ksatria itu, Ande-ande Lumut menolak lamaran klenting Merah. Ternyata Ande-ande Lumut melihat perubahan Klenting Merah. Ksatria itu tak mau menikah dengan gadis yang mudah mengorbankan kesuciannya. Klenting Merah pun pulang dengan hati kecewa.



Berikutnya adalah Klenting Ungu. Ia pun setuju saja pada kemauan Yuyu Kangkang. Ande-ande Lumut pun menolak lamaran Klenting Ungu. Selanjutnya giliran Klenting Kuning yang berangkat mengadu nasib dengan dua saudaranya. Klenting Kuning menolak kemauan Yuyu Kangkang. Bahkan, Klenting Kuning berkelahi dan akhirnya berhasil menyingkirkan Yuyu Kangkang. Ia tak mau kehormatan dan kesucian dirinya dinodai. Ketika sampai dirumah Ande-ande Lumut dan melamarnya, Ande-ande Lumut pun bersedia untuk menjadi suami Klenting Kuning. Mereka pun menikah dan hidup bahagia sampai akhir hayatnya.